Dibalik Ketegaran Tugu/Monumen Si Raja PANGGABEAN
Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) kata Tugu mengandung arti sebagai tiang besar dan tinggi yang terbuat dari batu, sebagai media untuk memperingati yang gugur dalam perang,bangunan yang dibangun untuk memperingati peristiwa penting, peristiwa bersejarah, atau untuk menghormati orang atau kelompok yang berjasa. Demikian jugalah dengan Tugu Si Raja Panggabean yang berdiri tegak di Jalan Raja Marhusa Panggabean berdekatan dengan Kantor Camat Siatas Barita, Kabupaten Tapanuli Utara.
Bagi masyarakat Batak Toba adalah suatu kebanggaan tersendiri apabila bisa mendirikan Tugu ataupun Monumen nenek moyangnya, karena dengan demikian kelak keturunan demi keturunan akan mengetahui siapa dan bagaimana generasi pertama dari keturunan mereka. Masyarakat Batak Toba adalah masyarakat yang hidup dalam kesehariannya diatur oleh hukum adat yang sangat baik, karena dari setiap marga ataupun keturunan pasti memiliki derajat yang berbeda yang menjadikan kehidupan masyarakat menjadi harmonis.
Marga Panggabean adalah keturunan dari Guru Mangaloksa yang memiliki 4 (empat) keturunan yaitu Marga Hutabarat, Marga Panggabean yang memiliki keturunan lagi yaitu Panggabean Lumban Ratus, Simorangkir, Panggabean Lumban Siagian, Marga Hutagalung dan Hutatoruan yang memiliki keturunan Hutapean dan Lumban Tobing. Dalam masyarakat Batak Toba nama-nama dari setiap Raja ataupun generasi pertamalah kelak menjadi marga yang disandang oleh masyrakat Batak Toba. Dan setiap marga di masyarakat Batak Toba memiliki Kampung Halaman masing-masing atau yang dikenal dalam istilah “Bona Ni Pinasa”. Marga Panggabean umumnya menempati daerah di kaki bukit Siatas Barita yang memiliki bangunan rohani bersejarah yaitu Salib Kasih yang dibangun untuk menghormati jasa-jasa Missionaris Batak Dr.I.L.NOMENSEN yang telah menyebarkan Agama Kristen Protestan kepada msyarakat Batak sehingga msyarakat Batak tidak lagi menganut kepercayaan Animisme dan Dinamisme.
Pada tanggal 27 Juni 1997, tepat di jalan Raja Marhusa Panggabean, oleh kesepakatan dari perantau-perantau dan tokoh-tokoh adat Marga Panggabean yang diwakilkan oleh Bapak GM Panggabean (alm) diresmikanlah sebuah tugu yang dinamakan Monumen Si Raja Panggabean, yag tingginya kurang lebih 10-15 meter yang memiliki ukiran-ukiran yang menggambarkan bagaimana dulu dari setiap generasi-generasi Raja Panggabean tersebut. Dibelakang bangunan tugu dibangun pula 3 rumah adat batak yang melambangkan ketiga keturunaN dari Raja Panggabean (Panggabean Lumban Ratus, Simorangkir dan Panggabean Lumban Siagian) dan juga untuk mengingatkan tentang falsafah Dalihan Na Tolu (Somba Marhula-hula, Elek marboru, Manat Mardongan Tubu)
Monumen ini bukan hanya monumen biasa yang dibangun begitu saja tanpa ada makna dan latar belakangnya. Tugu ini dibangun di Tahun 1992 karena di tahun-tahun sebelumnya ketiga dari keturunan si Raja Panggabean yaitu Panggabean Lumban Ratus, Simorangkir, Panggabean Lumban Siagian saling menikah, misalnya anatara Panggabean lumban siagian dengan Simorangkir, Panggabean Lumban Ratus dengan Simorangkir dan sebaliknya. Padahal dalam hukum adat ini adalah perkawinan yang haram karena masih dalam satu ikatan darah. Hal inilah yang melatarbelangi dibangunnya Tugu Si Raja Panggabean yang di remiskan di tahun 1992 dengan upacara adat yang besar dan meriah di acara puncaknya di sembelihlah 7 (ekor) kerbau sebagai tanda dari peresmian dari Tugu tersebut yang kelak apabila ada lagi keturunan yang ingin menikah sesama keturunan marga Panggabean harus menyembelih 7 ekor kerbau dan apabila kelak akan cerai harus menyembelih 7 ekor kerbau juga. Meskipun syarat itu bisa dipenuhi yang jelas kelak pasangan tersebut akan menemui hal-hal sulit baik untuk rumah tangga atupun kepada anak cucunya kelak. (di tulis oleh Berkat Panggabean, keturunan ke 15 dari Marga Panggabean Lumban Siagian) HORASSS……….